Saat
manusia tak tahu lagi harus mengambil keputusan, tak tahu lagi jalan untuk
melangkah, hanya ada kegelapan yang menyelimuti setiap jalan, tak ada lentera
satu pun untuk mencerahkan, di titik inilah manusia seharusnya mengembalikan
semua urusan pada Tuhannya. Hanya Dia-lah pemilik cahaya yang tak pernah padam,
cahaya yang senantiasa menyinari hati manusia, cahaya yang selalu menjaga
setiap sudut dan sisi perjalanan umatNya. Sekilas ingatan terunik yang belum
pernah kualami sebelumnya tiba-tiba melintas kembali, kala sahabat-sahabat pena
seperjuanganku sedang menghadapi dilema yang sama.
Sudah
lebih dari 2 tahun saat semuanya dimulai, pertengahan 2012 aku menghilang
mendadak dari peredaran kampus, sibuk sejenak untuk mengejar mimpi pertamaku.
Tanpa pemberitahuan apa pun pada pembimbingku, aku absen tanpa sepengetahuan
beliau selama 6 bulan lebih sampai awal 2013. Setelah aku puas dengan pelarian
sejenakku dari tugas itu, aku kembali menemui beliau untuk mendiskusikan lebih
lanjut tugas akhir yang menguji seluruh kapasitasku sebagai mahasiswa. Benakku
berkecamuk, membayangkan berbagai reaksi dan jawaban dari beliau karena aku
dengan seenaknya hilang tanpa kabar. Ketika niat sudah bulat, hati sudah
mantap, dengan hasil revisi di tangan, hal yang tak terduga, beliau pergi ke
Papua untuk sebulan terhitung dari bulan Januari.
Sesaat
aku merasa, “Wuah! Ini nih akibatnya
menunda-nunda, nggak manfaatin waktu dengan baik!” Aku hanya bisa menghela
nafas, pulang dengan langkah gontai meninggalkan Gedung MSK UGM yang terletak
di sebelah selatan Oase Dakwah Kampus, Masjid Kampus UGM itu. Sesuai yang
dijanjikan, aku kembali lagi menemui beliau pada bulan berikutnya. Tanpa rasa
bersalah dan hanya dengan wajah tersenyum polos, aku melakukan bimbingan
intensif sampai pada akhirnya beliau memberikan ACC untuk seminar proposal. “Akhirnya setelah sekian lama!” girang
hatiku berteriak keluar ruangan Pak Agus di lantai 2, di sebelah sisi kanan
tangga utama.
Dalam
perjalanan pulang itu aku merenung dan bertanya-tanya pada diriku sendiri,
mengingat kembali dan merasakan perjuangan selama 8 bulan ini. Aku berusaha
mencari-cari kesalahan diri kenapa sampai sesulit ini mendapatkan ijin resmi
dari dosen pembimbing untuk maju seminar proposal. Kebiasaan yang tak baik
untuk dicontoh sebenarnya, kerap aku merenung ketika sedang mengendarai motor
menuju rumah. Dan aku melakukannya lagi, untuk kesekian kali (sudah tak
terhitung). “Ah!” kata itu keluar saja dari mulutku ketika di lampu merah
Jembatan Janti. Selama ini aku menjalani dengan setengah hati, selalu
mencari-cari kesalahan orang lain hanya karena skripsi ini tak kunjung selesai
dan mendapat kepastian. Tak hanya itu, ya, aku selalu mengeluh. Mengeluhkan
segala sesuatu yang berjalan tak sesuai dengan apa yang kuinginkan, dan selalu
mengabaikan tunas bunga syukur dari dasar kalbu.
Sejak
saat itu, aku selalu berusaha mengerjakannya dengan ringan hati, penuh niat untuk memberikan sekeping
kebahagiaan bagi kedua orang tuaku. Tanpa erangan keluh kesah sedikit pun,
tanpa kekesalan tertumpah di wajah dan dada ini, aku terus melanjutkannya dan
berhasil melalui tahap pertama yang mendebarkan itu, ya, Seminar Proposal (bisa
dibilang Pendadaran Mini). Entah ada bisikan apa yang merayuku, aku semakin
memperbaiki kinerja dan diri, sehina apa pun diri ini, aku ingin semakin dekat
denganNya.
Dan
saat tiba pada hari Seminar Proposal, awal bulan Maret, 3 dosen (2 penguji
dan 1 pembimbing), waktu 10 menit untuk
presentasi, jantungku senam tak karuan. Tapi ya sudahlah, aku pasrah, sudah
berusaha maksimal, sudah berdoa juga yang jelas agar diberi kemudahan dan
kelancaran, tanpa hambatan suatu apa pun. Alhamdulillah, saat presentasi
berjalan dengan lancar, bahkan begitu pula saat para penguji melemparkan
pertanyaan. Tak ada ketegangan sedikit pun, justru penuh canda dan tawa dari
ketiga dosen yang super sibuk itu. “Ya
Allah, inikah kekuatan doa? Inikah cahaya yang Kau kirimkan pada lenteraku?” Bahkan
sama sekali tak ada tekanan (walaupun banyak ditonton adik-adik angkatan), baik
dari penonton maupun para dosen yang salah satunya terkenal killer (lebih tepatnya nggak mau
disalahkan).
Banyak
lelucon, sungguh (ya walaupun sedikit mengejek), “Anda ini kenapa sih suka yang
besar-besar? Ini judul Anda terlalu luas,” ujar dosen killer itu. Lalu Pak Agus pun malah mem-follow-nya dengan mengatakan, “Apa itu maksudnya Pak?” sambil
tertawa, menyipitkan mata melihatku yang melongo. Serempak mereka semua
tertawa, tak luput kawan seperjuangan seminar di sampingku yang sedikit pucat
pasi menanti gilirannya untuk dikritisi. Sempat juga di awal, Pak Agus
berceletuk, “Saya aja bingung, Anda itu mahasiswa saya apa bukan.” (efek
gara-gara ngilang selama setengah tahun)
Seminar
Proposal yang berisi gelak tawa, baru pertama kali ini aku menyaksikannya. Lalu
tiba giliran temanku (adik angkatan sebenarnya), wah kaget bukan kepalang aku
jadinya. Dia dibantai habis-habisan sampai tak bisa berkata-kata dan memberikan
jawaban yang memuaskan pada ketiga dosen itu. Aku juga turut terdiam, di
sampingnya aku berusaha memberikan support,
saat mata kami bertemu aku mengedipkan sambil menganggukkan kepalaku sebagai
bentuk dukungan. Akhirnya setelah 15 menit mendebarkan itu pun berlalu, ia
nampak lelah, dan aku hanya menepuk pundaknya, “Ayo semangat revisi!”
Seiring
waktu berjalan, aku pun segera merevisi semua bagian proposal agar bisa segera
mendapatkan ACC lapangan dari Pak Agus. Akhir bulan April itu menjadi penentuan
yang mendebarkan, kala itu aku sangat bergantung sekali pada doa, doa, dan doa.
Akhir bulan, sekitar tanggal 26 April aku membawa hasil revisi dan
menyuguhkannya pada beliau, ya, dengan sedikit presentasi tentunya (maklum
mahasiswa bimbingannya banyak). Akhirnya beliau membubuhkan tanda tangan, nama
terang dan tulisan ACC besar di sampul depan proposalku. Beliau kemudian
memberikan sedikit arahan teknis untuk mengurus perijinan ke lapangan, sembari
tersenyum ramah (manis banget senyumnya Pak! Ouch!), “Untung kamu datang ke
saya hari ini (hari Jum’at), mulai minggu depan saya mau keluar kota selama
sebulan.”
“Eh,
iya kah Pak?” balasku balik dengan spontan (ups).
“Saya
mau ke Kalimantan 2 minggu, setelah itu ke Papua,” jawab beliau sambil duduk
kembali ke kursi kebesarannya (sudah dilantik jadi Ketua MSK/Magister Studi
Kebijakan).
Aku
sempat mematung sesaat, “Ya Rabb, apa
ini? Timing-nya terlalu pas!” Semakin aku mendekatiNya, semakin aku
merasakan pendaran cahayaNya terus bertambah, memberikan kehidupan pada setiap
lenteraku, agar aku tak terjatuh, tak terluka, tak tersesat saat menyusuri
jalan. Kuperbanyak doa, dzikir dan sholat malam pun tak pernah hilang dari
rutinitasku kala itu. Berbekal dengan niat baik untuk mengemban amanah dari
orang tua (sebagai anak sekligus mahasiswa), aku pun akhirnya terjun ke
lapangan untuk mencari informasi dan mengumpulkan data (terjun motor ke Imogiri
dan Bantul).
Selama
seminggu, masa untuk mengurus perijinan, semua berjalan sangat mulus, tak ada
kendala sama sekali. Berbeda dengan yang kudengar dari cerita sobat-sobat
perjuangan sebagai mahasiswa akhir yang mengeluhkan perihal perijinan. Bahkan
saat aku berurusan dengan pihak-pihak di tingkat kecamatan dan desa,
instansi-instansi dan perangkat-perangkatnya sangat kooperatif, tak
mempersulitku barang sedikit pun. Sekali lagi aku meneteskan peluh mata kala
bersujud siang itu di bumi Imogiri, “Ya
Allah, betapa besar karuniaMu, sungguh tak terhingga rahmatMu. Terima kasih ya
Allah, I’m nothing without You.” Pengurus di UPK (Unit Pengelola Kegiatan
untuk PNPM Mandiri) Imogiri tak hanya kooperatif, tapi mereka juga memberikan infromasi
terkait informan lain yang sama sekali tak kuminta (impact dari teknik snowball
sampling). Perjalananku menelusuri pucuk-pucuk Imogiri pun berakhir dengan baik
dan memuaskan.
Selama
Pak Agus pergi, aku pun sekuat tenaga untuk mengolah data, menganalisisnya dan menatanya
rapi ke dalam tulisan. Butuh perjuangannya yang tak pernah terkira, masa-masa itu
(setelah Oprek FLP 2013), aku berusaha agar bisa mengejar wisuda pada bulan Agustus.
Tidur 2 jam sehari sudah menjadi hal lazim bagiku selama sebulan (pertengahan Mei
sampai Juni) itu. Atas ijinNya, selesai juga skripsi setebal 147 halaman itu (jumlah
halaman awal sebelum sidang dan direvisi). Dua minggu terakhir bulan Juni, aku terus
mengejar Pak Agus agar beliau bersedia meluangkan waktu untuk mengoreksi tumpukan
kertas pengantar menuju gerbang kelulusan.
Begitu
beliau mencoret-coretnya, segera kubawa pulang, kuperbaiki, lalu hari berikutnya
aku datang lagi, dan begitu seterusnya, selama seminggu itu aku menghantui beliau.
Akhirnya, hari Jum’at, 28 Juni 2013, beliau meng-acc berkas skripsiku, “Ya sudahlah,
ini saya ACC. Segera ke jurusan ya, untuk daftar ujian.” Girang tak bisa lepas dari
wajah penatku, (mata udah kayak mata panda) kuterima berkas itu dari tangan beliau
sambil terus tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku permisi dan keluar dari
ruangan Ketua MSK di lantai 1 paling ujung selatan itu, “Bapaknya udah muak sama
aku nih, semingguan ini aku ngejar-ngejar terus. Tapi ya, alhamdulillah, akhirnya.”
Terekam
jelas dalam memoriku, saat aku tak beranjak sedikit pun dari kamar hanya untuk menuntaskan
segepok karya ilimiah, ibuku terus mengawasiku dari kejauhan, terkadang beliau hanya
iseng menengokku. Melihat sosokku yang begitu serius di depan meja kerja (padahal
hanya laptop di atas meja lipat), beliau hanya berujar, “Jangan terus-terusan di
depan laptop, jangan sampai kecapekan.” Aku tahu itu adalah wujud sayang, wujud
kasihnya padaku, sebisa mungkin beliau tak mengangguku, membiarkanku dengan segala
kesibukannku, bahkan beliau tak mengusikku untuk membantu membereskan urusan rumah.
Suatu siang, seusai beliau selesai ibadah dhuhur, barang sebentar aku mengobrol dengan beliau. Lalu terpeleset keluar dari mulutku, "Makanya Bu, doain ya, biar cepet selesai, biar cepet lulus."Beliau pun tersenyum sambil berbalik dengan mukena masih menempel di tubuhnya, “Orang tua selalu mendoakan anaknya di setiap sholatnya.” Berdesir air mata mengalir dari palung hatiku, aku memaksa untuk tersenyum dan mengangguk, berusaha menahan air mata itu tak meluap keluar dari mataku.
~to be continued~