Pages - Menu

Saturday, September 5, 2015

Mutiara Kata

Untaian mutiara kata terhempas oleh jutaan rasa
Hening, tak mampu bergetar
Lantunan angin menghela badai dalam dada
Tak berujung, merekah memar

Cinta yang tersimpan semerbak di bawah langit
Bersama bintang  ia bersimpuh
Menengadah, tak pernah menyerah
Sungguh, hanya dari hati yang merindu kuat



Sekaan ujung manis dari tangan melunglai
Tak kuasa mengunci duka dari mata
Rasa yang sama selalu ada menjuntai
Semua hanya ilusi yang tertatah senja

Asa tak pernah meredup dalam mimpi
Hanya dari hati ia bergelimang kasih
Kisah sampaikan perpisahan pada angan
Menyambut serpihan luka yang indah
Tak ada dusta, tak ada duka yang mengiringi
Cukup mutiara kata yang bersulang cinta dengan rembulan

Hanya mutiara dari hati yang tersimpan untukmu ...


[Lin Azale – 2015.08.26]

*Inspired by Battle of Surabaya

Monday, November 17, 2014

Tamparan dari Seekor Laron

Apa yang kau ketahui tentangnya? Tak ada. Aku hanya menjumpainya selama musim penghujan. Aku tak tahu menahu tentang dirinya, barang sehelai sel pun. Tapi akhirnya aku bertemu dengannya setelah tangisan langit mengguyur kota ini selama beberapa hari. Beberapa jam yang lalu saat aku menunggu di kursi tunggu lorong sebuah rumah sakit, mereka datang berhamburan. Satu per satu dengan riangnya terbang ke sana kemari. “Ah akhirnya aku bisa keluar di sela-sela jeda hujan malam ini,” kurang lebih itu yang mereka rasa. Laron, hewan musiman yang hanya berkelana saat hujan datang dan selalu tertarik pada cahaya.

Aku melihat mereka mengepakkan sayap-sayap tipisnya berwarna kecoklatan dan mengitari lorong di bawah iluminasi lampu-lampu di atasku. Aku hanya tersenyum, lalu termenung ketika melihat sebagian dari mereka terbang semakin rendah, merayap di lantai dan akhirnya kehilangan sayap-sayapnya. Kutengok ke sebelah kanan, sebagian dari mereka ada yang terinjak dan menjadi bangkai. Aku terdiam, baru selepas maghrib mereka menikmati kebebasan untuk bertualang dan menjelang isya’ mereka sudah menjemput ajal. Aku merenung. “Untuk apa mereka hidup? Nyawa mereka tak ada hitungan hari, bahkan hanya beberapa menit.”
Dan aku teringat pada salah satu firman-Nya dalam QS Shad ayat 27:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ۚ ذَٰلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”
Allah menciptakan segala sesuatu karena ada manfaatnya. Kita belum menyadarinya saja karena keterbatasan yang kita miliki. Begitu juga diriku yang baru saja mengetahuinya. Banyak hal yang bisa kita ambil hikmahnya dari kehidupan seekor laron yang sangat singkat.
Ia tetap mengepakkan sayap walaupun tahu ia akan jatuh
Ia tetap berjuang untuk terbang meskipun tahu sayap-sayapnya akan runtuh
Ia tetap pergi bertualang padahal ia tahu tak akan kembali ke rumah keesokan hari
Ia pejuang yang tak pernah takut pada mati, hanya takut pada Sang Illahi


Laron yang sudah tahu bahwa waktu hidupnya di dunia sangat singkat tetap berjuang. Mereka tetap terbang dan keluar bertualang, walaupun tahu di luar sana nyawanya akan dipenggal. Bagaimana dengan kita? Lama singkatnya hidup manusia hanyalah rahasia Allah semata. Namun apakah kita lebih baik dari mereka?
Melesat seketika dalam benakku bahwa aku tidak lebih baik dari mereka. Belum pernah aku berjuang seperti mereka sampai terkulai, sampai detik akhir nafas berhembus. Kita yang diberi waktu panjang untuk menikmati gemerlap dunia seharusnya bisa berjuang lebih daripada mereka. Manusia yang diciptakan dalam kondisi sebaik-baiknya, lengkap dengan akal dan pikiran, harusnya mampu berbuat lebih. Mampu berjuang lebih dari seekor laron yang tak memiliki kelebihan seperti kita. Laron dengan segala kekurangannya saja mengenal kata pantang menyerah, meresapi maknanya hingga ke serat sayap-sayapnya. Maka kita sebagai manusia harus lebih bisa memahaminya bahkan mempraktikkannya lebih dari si laron.
Apa gunanya kita diberi akal dan pikiran untuk menuntut ilmu apabila tak ada dimanfaatkan sebaik-baiknya. Apakah Allah menciptakan mulut kita hanya untuk membualkan semua tentang ilmu tanpa memberikan manfaat dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? Maka sungguh sayang, ilmu itu akan sia-sia dan tak akan kembali pada kita. Bagaimana jadinya andai Rasulullah SAW hanya berdakwah tanpa memberi contoh kepada umatnya? Apa yang akan terjadi? Islam hanya akan berakhir sebagai salah satu teori saja, bukan agama.
Maka ketika kita menyuarakan kebaikan pada orang lain, akan lebih baiknya kita memberikan contoh atau mengerjakannya terlebih dahulu. Dan bila kita ingin mengubah sesuatu, maka harus dimulai dengan diri kita sendiri. Lakukan dengan sebaik-baiknya, dorong sampai benar-benar tak bisa lagi didorong seluruh kapasitas yang kita miliki. Masukkanlah kata pantang menyerah, usaha keras dalam setiap perbendaharaan kata dan hari kita. Pantang menyerah, berusaha keras dalam melakukan segala sesuatunya adalah perintah-Nya, seperti kutipan berikut:
 ....إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ .... 
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang pada diri mereka.” (QS Ar-Ra’ad:11)

Tuhan memang punya rencana, tapi sebagaian rencana-Nya adalah buah dari apa yang dikerjakan umat-Nya. Hari esok kita adalah bibit yang telah kita tanam dan pupuk selama ini, seperti apa ia akan tumbuh dan berbuah itu semua tergantung kita. Apabila kita selalu mengusahakan yang terbaik, maka Allah pun akan membalas niatan dan kerja keras tersebut. Sudahkah kita mengusahakan yang terbaik hari ini? Have a blessed Monday and do best for tomorrow!

Monday, November 3, 2014

Lentera yang Tak Pernah Padam ~Cahaya Pertama~

Saat manusia tak tahu lagi harus mengambil keputusan, tak tahu lagi jalan untuk melangkah, hanya ada kegelapan yang menyelimuti setiap jalan, tak ada lentera satu pun untuk mencerahkan, di titik inilah manusia seharusnya mengembalikan semua urusan pada Tuhannya. Hanya Dia-lah pemilik cahaya yang tak pernah padam, cahaya yang senantiasa menyinari hati manusia, cahaya yang selalu menjaga setiap sudut dan sisi perjalanan umatNya. Sekilas ingatan terunik yang belum pernah kualami sebelumnya tiba-tiba melintas kembali, kala sahabat-sahabat pena seperjuanganku sedang menghadapi dilema yang sama.
Sudah lebih dari 2 tahun saat semuanya dimulai, pertengahan 2012 aku menghilang mendadak dari peredaran kampus, sibuk sejenak untuk mengejar mimpi pertamaku. Tanpa pemberitahuan apa pun pada pembimbingku, aku absen tanpa sepengetahuan beliau selama 6 bulan lebih sampai awal 2013. Setelah aku puas dengan pelarian sejenakku dari tugas itu, aku kembali menemui beliau untuk mendiskusikan lebih lanjut tugas akhir yang menguji seluruh kapasitasku sebagai mahasiswa. Benakku berkecamuk, membayangkan berbagai reaksi dan jawaban dari beliau karena aku dengan seenaknya hilang tanpa kabar. Ketika niat sudah bulat, hati sudah mantap, dengan hasil revisi di tangan, hal yang tak terduga, beliau pergi ke Papua untuk sebulan terhitung dari bulan Januari.
Sesaat aku merasa, “Wuah! Ini nih akibatnya menunda-nunda, nggak manfaatin waktu dengan baik!” Aku hanya bisa menghela nafas, pulang dengan langkah gontai meninggalkan Gedung MSK UGM yang terletak di sebelah selatan Oase Dakwah Kampus, Masjid Kampus UGM itu. Sesuai yang dijanjikan, aku kembali lagi menemui beliau pada bulan berikutnya. Tanpa rasa bersalah dan hanya dengan wajah tersenyum polos, aku melakukan bimbingan intensif sampai pada akhirnya beliau memberikan ACC untuk seminar proposal. “Akhirnya setelah sekian lama!” girang hatiku berteriak keluar ruangan Pak Agus di lantai 2, di sebelah sisi kanan tangga utama.
Dalam perjalanan pulang itu aku merenung dan bertanya-tanya pada diriku sendiri, mengingat kembali dan merasakan perjuangan selama 8 bulan ini. Aku berusaha mencari-cari kesalahan diri kenapa sampai sesulit ini mendapatkan ijin resmi dari dosen pembimbing untuk maju seminar proposal. Kebiasaan yang tak baik untuk dicontoh sebenarnya, kerap aku merenung ketika sedang mengendarai motor menuju rumah. Dan aku melakukannya lagi, untuk kesekian kali (sudah tak terhitung). “Ah!” kata itu keluar saja dari mulutku ketika di lampu merah Jembatan Janti. Selama ini aku menjalani dengan setengah hati, selalu mencari-cari kesalahan orang lain hanya karena skripsi ini tak kunjung selesai dan mendapat kepastian. Tak hanya itu, ya, aku selalu mengeluh. Mengeluhkan segala sesuatu yang berjalan tak sesuai dengan apa yang kuinginkan, dan selalu mengabaikan tunas bunga syukur dari dasar kalbu.
Sejak saat itu, aku selalu berusaha mengerjakannya dengan ringan hati,  penuh niat untuk memberikan sekeping kebahagiaan bagi kedua orang tuaku. Tanpa erangan keluh kesah sedikit pun, tanpa kekesalan tertumpah di wajah dan dada ini, aku terus melanjutkannya dan berhasil melalui tahap pertama yang mendebarkan itu, ya, Seminar Proposal (bisa dibilang Pendadaran Mini). Entah ada bisikan apa yang merayuku, aku semakin memperbaiki kinerja dan diri, sehina apa pun diri ini, aku ingin semakin dekat denganNya.
Dan saat tiba pada hari Seminar Proposal, awal bulan Maret, 3 dosen (2 penguji dan  1 pembimbing), waktu 10 menit untuk presentasi, jantungku senam tak karuan. Tapi ya sudahlah, aku pasrah, sudah berusaha maksimal, sudah berdoa juga yang jelas agar diberi kemudahan dan kelancaran, tanpa hambatan suatu apa pun. Alhamdulillah, saat presentasi berjalan dengan lancar, bahkan begitu pula saat para penguji melemparkan pertanyaan. Tak ada ketegangan sedikit pun, justru penuh canda dan tawa dari ketiga dosen yang super sibuk itu. “Ya Allah, inikah kekuatan doa? Inikah cahaya yang Kau kirimkan pada lenteraku?” Bahkan sama sekali tak ada tekanan (walaupun banyak ditonton adik-adik angkatan), baik dari penonton maupun para dosen yang salah satunya terkenal killer (lebih tepatnya nggak mau disalahkan).
Banyak lelucon, sungguh (ya walaupun sedikit mengejek), “Anda ini kenapa sih suka yang besar-besar? Ini judul Anda terlalu luas,” ujar dosen killer itu. Lalu Pak Agus pun malah mem-follow-nya dengan mengatakan, “Apa itu maksudnya Pak?” sambil tertawa, menyipitkan mata melihatku yang melongo. Serempak mereka semua tertawa, tak luput kawan seperjuangan seminar di sampingku yang sedikit pucat pasi menanti gilirannya untuk dikritisi. Sempat juga di awal, Pak Agus berceletuk, “Saya aja bingung, Anda itu mahasiswa saya apa bukan.” (efek gara-gara ngilang selama setengah tahun)
Seminar Proposal yang berisi gelak tawa, baru pertama kali ini aku menyaksikannya. Lalu tiba giliran temanku (adik angkatan sebenarnya), wah kaget bukan kepalang aku jadinya. Dia dibantai habis-habisan sampai tak bisa berkata-kata dan memberikan jawaban yang memuaskan pada ketiga dosen itu. Aku juga turut terdiam, di sampingnya aku berusaha memberikan support, saat mata kami bertemu aku mengedipkan sambil menganggukkan kepalaku sebagai bentuk dukungan. Akhirnya setelah 15 menit mendebarkan itu pun berlalu, ia nampak lelah, dan aku hanya menepuk pundaknya, “Ayo semangat revisi!”
Seiring waktu berjalan, aku pun segera merevisi semua bagian proposal agar bisa segera mendapatkan ACC lapangan dari Pak Agus. Akhir bulan April itu menjadi penentuan yang mendebarkan, kala itu aku sangat bergantung sekali pada doa, doa, dan doa. Akhir bulan, sekitar tanggal 26 April aku membawa hasil revisi dan menyuguhkannya pada beliau, ya, dengan sedikit presentasi tentunya (maklum mahasiswa bimbingannya banyak). Akhirnya beliau membubuhkan tanda tangan, nama terang dan tulisan ACC besar di sampul depan proposalku. Beliau kemudian memberikan sedikit arahan teknis untuk mengurus perijinan ke lapangan, sembari tersenyum ramah (manis banget senyumnya Pak! Ouch!), “Untung kamu datang ke saya hari ini (hari Jum’at), mulai minggu depan saya mau keluar kota selama sebulan.”
“Eh, iya kah Pak?” balasku balik dengan spontan (ups).
“Saya mau ke Kalimantan 2 minggu, setelah itu ke Papua,” jawab beliau sambil duduk kembali ke kursi kebesarannya (sudah dilantik jadi Ketua MSK/Magister Studi Kebijakan).
Aku sempat mematung sesaat, “Ya Rabb, apa ini? Timing-nya terlalu pas!” Semakin aku mendekatiNya, semakin aku merasakan pendaran cahayaNya terus bertambah, memberikan kehidupan pada setiap lenteraku, agar aku tak terjatuh, tak terluka, tak tersesat saat menyusuri jalan. Kuperbanyak doa, dzikir dan sholat malam pun tak pernah hilang dari rutinitasku kala itu. Berbekal dengan niat baik untuk mengemban amanah dari orang tua (sebagai anak sekligus mahasiswa), aku pun akhirnya terjun ke lapangan untuk mencari informasi dan mengumpulkan data (terjun motor ke Imogiri dan Bantul).
Selama seminggu, masa untuk mengurus perijinan, semua berjalan sangat mulus, tak ada kendala sama sekali. Berbeda dengan yang kudengar dari cerita sobat-sobat perjuangan sebagai mahasiswa akhir yang mengeluhkan perihal perijinan. Bahkan saat aku berurusan dengan pihak-pihak di tingkat kecamatan dan desa, instansi-instansi dan perangkat-perangkatnya sangat kooperatif, tak mempersulitku barang sedikit pun. Sekali lagi aku meneteskan peluh mata kala bersujud siang itu di bumi Imogiri, “Ya Allah, betapa besar karuniaMu, sungguh tak terhingga rahmatMu. Terima kasih ya Allah, I’m nothing without You.” Pengurus di UPK (Unit Pengelola Kegiatan untuk PNPM Mandiri) Imogiri tak hanya kooperatif, tapi mereka juga memberikan infromasi terkait informan lain yang sama sekali tak kuminta (impact dari teknik snowball sampling). Perjalananku menelusuri pucuk-pucuk Imogiri pun berakhir dengan baik dan memuaskan.
Selama Pak Agus pergi, aku pun sekuat tenaga untuk mengolah data, menganalisisnya dan menatanya rapi ke dalam tulisan. Butuh perjuangannya yang tak pernah terkira, masa-masa itu (setelah Oprek FLP 2013), aku berusaha agar bisa mengejar wisuda pada bulan Agustus. Tidur 2 jam sehari sudah menjadi hal lazim bagiku selama sebulan (pertengahan Mei sampai Juni) itu. Atas ijinNya, selesai juga skripsi setebal 147 halaman itu (jumlah halaman awal sebelum sidang dan direvisi). Dua minggu terakhir bulan Juni, aku terus mengejar Pak Agus agar beliau bersedia meluangkan waktu untuk mengoreksi tumpukan kertas pengantar menuju gerbang kelulusan.
Begitu beliau mencoret-coretnya, segera kubawa pulang, kuperbaiki, lalu hari berikutnya aku datang lagi, dan begitu seterusnya, selama seminggu itu aku menghantui beliau. Akhirnya, hari Jum’at, 28 Juni 2013, beliau meng-acc berkas skripsiku, “Ya sudahlah, ini saya ACC. Segera ke jurusan ya, untuk daftar ujian.” Girang tak bisa lepas dari wajah penatku, (mata udah kayak mata panda) kuterima berkas itu dari tangan beliau sambil terus tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku permisi dan keluar dari ruangan Ketua MSK di lantai 1 paling ujung selatan itu, “Bapaknya udah muak sama aku nih, semingguan ini aku ngejar-ngejar terus. Tapi ya, alhamdulillah, akhirnya.”
Terekam jelas dalam memoriku, saat aku tak beranjak sedikit pun dari kamar hanya untuk menuntaskan segepok karya ilimiah, ibuku terus mengawasiku dari kejauhan, terkadang beliau hanya iseng menengokku. Melihat sosokku yang begitu serius di depan meja kerja (padahal hanya laptop di atas meja lipat), beliau hanya berujar, “Jangan terus-terusan di depan laptop, jangan sampai kecapekan.” Aku tahu itu adalah wujud sayang, wujud kasihnya padaku, sebisa mungkin beliau tak mengangguku, membiarkanku dengan segala kesibukannku, bahkan beliau tak mengusikku untuk membantu membereskan urusan rumah.
Suatu siang, seusai beliau selesai ibadah dhuhur, barang sebentar aku mengobrol dengan beliau. Lalu terpeleset keluar dari mulutku, "Makanya Bu, doain ya, biar cepet selesai, biar cepet lulus."Beliau pun tersenyum sambil berbalik dengan mukena masih menempel di tubuhnya, “Orang tua selalu mendoakan anaknya di setiap sholatnya.” Berdesir air mata mengalir dari palung hatiku, aku memaksa untuk tersenyum dan mengangguk, berusaha menahan air mata itu tak meluap keluar dari mataku.
~to be continued~

Friday, October 31, 2014

Globalisasi Nyata dalam Dunia Maya (Borderless) ~Jagalah Hati, Jagalah Mulut! Warning: Public Sphere!~

Seiring berkembang dan semakin majunya teknologi di Indonesia, pemanfaatan internet sebagai public sphere sekaligus penyebaran informasi melaju dengan pesat. Bahkan pengguna gadget seperti handphone dengan platform android, iOS, Windows, dan kawan-kawan pun juga meningkat. Sebagian besar masyarakat mengakses dunia maya dengan menggunakan handphone dan PC tablet yang lebih praktis daripada laptop dan komputer. Termasuk pengguna media sosial pun menjamur di negeri dengan penduduknya yang sangat padat, salah satunya adalah Facebook.
Jejaring sosial yang mulai populer di kalangan anak muda pada awal tahun 2008 di ini, telah menempatkan Indonesia pada posisi ke empat dunia sebagai pengguna akun Facebook terbanyak. Internet merupakan salah satu produk nyata dari globalisasi yang tak mengenal batas tempat dan wilayah (borderless) dan Facebook yang sangat tinggi sekali peminatnya pun telah meniadakan semua batas-batas itu. Pada mulanya, hanya sekedar batas wilayah dan tempat saja (sesuai dengan konsep globalisasi awal), namun semakin ke sini batas-batas kesopanan dan kesantunan pun hilang perlahan.


Berbagai berita dan informasi yang begitu cepat tersebar luas melalui media sosial satu ini pun semakin mendukung penduduk Facebook untuk dengan bebas mengungkapkan pendapat dan apa yang dipikirkannya (fungsi share status). Kebebasan yang selama ini terbiasa didapatkan dalam menggunakan jejaring sosial ini pun telah menciptakan suatu keajegan dalam diri seseorang dan menjadi suatu kebiasaan (melembaga dalam diri orang tersebut sehingga susah dihilangkan karena sudah tertanam dalam). Kebebasan dalam mengungkapkan apa yang dipikir, apa yang dirasa (tentunya difasilitasi oleh aplikasi ini) yang selama ini tak bisa diungkapkan di hapadan publik (di dunia nyata), bisa dengan bebas dilampiaskan oleh pengguna di halaman akun Facebook-nya (adanya fungsi Privacy dalam share status).
Pola pelampiasan dan pengungkapan gagasan yang demikian telah menyuntikkan virus-virus liberalisme yang mengampanyekan ‘kebebasan’ (freedom) atau ‘No Rules’ sehingga orang terbiasa bertindak seenaknya, semaunya tanpa mempertimbangkan etika dan estetika. Lebih parahnya lagi, virus-virus tersebut akan menggerogoti sisi agamis penggunanya melalui konsep ‘No Rules’ yang bertentangan dengan agama yang memiliki seperangkat aturan (memuat hak dan kewajiban manusia terhadap Tuhan dan sesama manusia). Belum lama ini, ada beberapa kasus yang merupakan imbas dari borderless Facebook dan berujung pada pem-bully-an di dunia maya (berakhir tragis dengan tindak lanjut berupa sanksi hukum dan sosial di dunia nyata).
Tentunya masih segar dalam ingatan kita tentang bully yang terjadi pada masa kampanye Pemilu untuk memilih Presiden 2014 yang lalu. Para pendukung kedua kubu masing-masing melancarkan berbagai serangan untuk menjatuhkan Calon Presiden satu sama lain. Berita-berita yang diluncurkan terbaca cukup sinis bahkan sudah masuk dalam taraf sarkasme yang lebih ke arah fitnah dan ghibah. Kebebasan menggunakan public tools seperti Facebook yang tak mengenal batas-batas (etika, estetika, dan moral) ini pun semakin menjadi hanya demi mendapatkan pengakuan, mengajak orang lain untuk sepemahaman dengan oknum yang melakukan.
Seolah orang-orang telah lupa bahwa apa yang ditulisnya itu tak ubahnya sama dengan apa yang diucapkan karena berisi ungkapan pendapat dan perspektif yang beranekaragam sesuai dengan apa yang ada di benak dan pikirnya. Secara fungsional, status yang ditulis dan ditebar di jejaring sosial sudah sama dengan perkataan yang biasanya dipaparkan secara oral. Mungkin selama ini, kita tak pernah mengindahkan hal-hal sepele yang demikian, “Ah ini kan akunku, jadi suka-suka aku dong, terserah mau ngapain!” Kurang lebih begitu yang kerap ada di benak kita semua. Namun perlu diingat bahwa jejaring sosial macam Facebook itu merupakan public sphere yang fungsinya sama dengan public place seperti di dunia nyata. Apa yang kita pajang, apa yang kita sebar, bisa dilihat oleh semua orang, tak peduli dari mana ia berasal, di mana ia tinggal.
Konsep borderless yang diusung Facebook kini telah menembus batas-batas norma dan etika yang selama ini membangun peradaban manusia dengan sederet aturan dan budayanya. Ada baiknya mulai saat ini, kita lebih berhati-hati lagi dalam mem-filter informasi dan mengutarakan gagasan kita di akun maya ini. Jangan sampai ia membentuk kita menjadi manusia yang tak lagi mengenal aturan, tak lagi menghargai dan menghormati orang lain, terlebih lagi menjadi insan yang suka mencerca, menyakiti hati sesama. Jagalah hati, jagalah mulut! Have a barokah Friday ever! May Allah always protect and love us!

Wednesday, October 29, 2014

Kebetulan yang Terajut Benang Ukhuwah

Dalam kamus memang terdapat beberapa kata yang pada kenyataannya kata itu hanyalah sebatas kata. Kata-kata tersebut hanya berujung pada perbendaharaan bahasa saja, seperti kata ‘kebetulan’. Kebetulan hanyalah sebongkah kata. Dalam kehidupan nyata hal yang disepakati manusia untuk menyebut sebuah kejadian yang tidak disengaja (kebetulan) pada dasarnya tidak pernah ada. Semua sudah ada yang mengatur, mulai dari kisah hidup setiap insan sampai pertemuan-pertemuan dengan berbagai orang dan bumbu intrik yang melekat bersama peristiwa-peristiwa tersebut. Usaha, upaya yang kita lakukan adalah hiasan terakhir untuk memperindahnya.
Akhir-akhir ini, aku betul merasakan kekuatan ukhuwah (jalinan terbentuk karena pertemuan-pertemuan penting yang telah diaturNya) dan doa-doa yang mengiringinya. Keputusan yang kupilih saat ini sama sekali tak pernah terbayang oleh diriku setahun lalu. Banyak hal yang harus kuupayakan, banyak hal yang selama ini belum pernah kulakukan dan moment ini memaksaku untuk melakukannya. Di saat waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya dirasa kurang (tidak bisa memanajemen waktu dengan baik), akhirnya aku hanya pasrah dan memperkuat doaku, memanfaatkan sisa waktu yang tak sampai seminggu untuk mengoptimalkannya.
Di saat yang sama, aku meminta ridho dan doa tak hanya dari kedua orang tua, tapi dari orang-orang luar biasa yang tak perlu kata dalam menyayangi dan mengasihiku. Allah mempertemukanku dengan mereka melalui cara dan jalan yang sama sekali tak terduga, melalui jalan yang kala itu aku sangat membencinya. Benar adanya, segala sesuatu yang kita benci itu belum tentu tidak baik bagi kita karena hanya Allah yang tahu dan mengerti apa yang terbaik untuk kita.
Sahabat-sahabat terkasihku yang telah menghuni tetap di sela-sela hatiku, aku sangat bersyukur Allah telah mempertemukan dan merajut ukhuwah kita menjadi semakin apik, indah, hangat. Terima kasih selama ini kalian selalu ada untukku, tak perlu kalian berucap, rasa cinta, kasih, dan sayang itu telah sampai di hatiku. Terima kasih selalu menyebut namaku dalam doa-doa kalian. Tanpa kalian, tanpa doa kalian, aku tak bisa melangkah sejauh ini. Berharap ukhuwah ini akan selalu abadi sampai di akhirat nanti. I love you all because of Allah. Semoga Allah juga melimpahkan berlipat-lipat kebaikan dan keberkahan pada kalian. Have a blessed, nice, and barokah day ever! Mohon doanya lagi ya, ^_^

Cinta Kasih Tanpa Kata

Temaram cahyanya syahdu menerpa mata dan hatiku
Mengelus manis, hangat di setiap ujung jari yang bersandar di punggungku
Notifikasi tak melambai, meluruhkan bulir air di sudut mataku

Teringat akan sosokmu mengais asa
Sempit sesak hati ini mengungkap memori lara
Gigil mendera tubuh ini, angin musim dingin mencengkeram erat
Salju yang menari membekukan ujung-ujung hati yang tercekat



Bunga pun mekar, musim pun berjalan mengarungi waktu
Semua yang tertangkap lensa terasa begitu memukau
Kehadiranmu yang sesaat berbekas duka
Namun sisa-sisa harum seminya sangat berharga

Cukup kutatap lembaran langit dengan bintang dan bulannya
Kutahu kau selalu tersenyum, berlari ke ujung cakrawala
Tak perlu kau bentuk rasa itu ke dalam kata
Aku tahu apa yang kau jaga dalam dada

Sumber gambar