Hidup itu
terkadang tidak berjalan sesuai dengan yang manusia inginkan. Setiap kali hal
itu terjadi, kerap manusia bertanya-tanya dengan berbagai keluh kesahnya.
Terkadang sampai menyalahkan berbagai pihak dan mengada-adakan faktor-faktor
yang sangat kecil pengaruhnya. Manusia dewasa ini seolah melupakan sejenak
kondisi batiniahnya demi mengejar segala hal yang ada di dunia, walaupun itu
hanya sekedar untuk mendapat kepuasaan yang didasarkan atas standar-standar
buatan manusia. Kondisi rohani yang selalu dinomorduakan, bahkan mungkin nomor
dua dari belakang, bisa dibilang sebagai faktor yang melahirkan sistem
kompetisi di dunia. Ya, ibaratnya jika kau tidak menjadi nomor satu, maka kau
tak akan pernah menjadi jagoan, menjadi pemenang, tentunya di mata manusia.
Manusia
seolah lupa, bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian.
Keharusan menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat sudah tak pernah lagi
masuk dalam prioritas kehidupan manusia modern ini. Mereka selalu mengutamakan
apa yang bisa mereka lihat dengan mata, yaitu dunia. Tak pernah sekali pun
berusaha untuk melihat dengan mata hati apa yang selama ini tak terlihat oleh
mata fisik, yaitu akhirat. Tidak berlebihan dalam melakukan segala hal adalah
salah satu ajaran inti dalam Islam, seperti firman Allah dalam Al Qasas ayat 77
sebagai berikut:
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan
bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh,
Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Keharusan
untuk menjalani kehidupan sesuai ajaran ini memang tidaklah mudah, tapi bagaimana
pun juga segala yang di tengah-tengah (seimbang, tidak berlebihan) itu lebih
baik. Sejenak aku teringat beberapa waktu lalu, ada seorang sahabat di
perantauan yang tiba-tiba bertanya dan sedikit bercerita padaku melalui media
chat di hp.
“Lin, kamu
setuju nggak orang yang nggak tahan tekanan nggak bakal bisa sukses?”
“Nggak, tapi
itu memang tantangan yang harus dilalui. Tantangan nggak sama dengan tekanan.
Kalau bisa menikmati tantangan maka nggak akan jadi tekanan. Simpel kan?
Parameter sukses tiap orang kan juga beda, nggak bisa disamakan,” balasku
kemudian.
Sedikit lama
ia menjawab, “Gitu ya? Gimana kalau ada orang yang tetap rela ditekan setiap
hari, meskipun hal tersebut mengubah perangainya jadi buruk? Dia rela digituin
demi masa depan yang baik.”
Aku pun terus
membalas sambil berpikir agar apa yang ingin kusampaikan bisa dicernanya dengan
baik, lalu kubalas panjang lebar, “Kalau demi masa depan yang baik, harus jadi
pribadi yang baik, mengusahakan yang baik, dengan itu Allah yang menjamin kalau
bakal punya masa depan yang lebih baik.” Aku pun berhenti sejenak, merangkai
kata-kata di dalam benak, “Nggak ada yang namanya demi masa depan lebih baik tapi
sampai rela berubah menjadi buruk. Siapa yang bisa menjamin masa depan
manusia?” tanyaku balik, dan ia pun masih dengan sabar menunggu sampai
ceramahku yang biasanya selesai. “Cuma Allah dan apa yang sedang diupayakan
sekarang, tentunya dengan cara yang baik. Allah tidak akan merubah nasib suatu
kaum jika kaum tersebut tidak mau berusaha. Berusaha di sini juga tentu dalam
kategori yang baik. Sekarang tinggal pilih, kamu lebih suka dipandang dan
dianggap oleh Allah atau hanya segelintir manusia? Insya Allah aku tahu kalau
kamu lebih milih yang pertama, kamu dapat suskes dunia akhirat.”
“Actually, belakangan ini entah kenapa
susah menata pikiran. Somehow kerjaan
jadi overload,” jawabnya singkat dan
mulai mengerti apa yang kumaksud. “Hmm, hidup seimbang susah juga ya.
Benar-benar berjuang keras buat dunia dan akhirat,” lanjutnya beberapa saat
kemudian. Sahabatku yang satu ini sedang berjuang menghadapi hiruk pikuk
pergaulan di Kota Metropolitan nomor satu di Indonesia, Jakarta, bahkan ia
menyebutnya sebagai Kota Cyberpunk
yang sama sekali aku masih belum paham makna seutuhnya.
Ia bahkan
kerap bercerita padaku tentang lingkungan kerjanya yang sangat kondusif untuk
mengubah perangainya menjadi lebih buruk. Hedonisme merongrong kuat dalam
atmosfernya bahkan segala sesuatu selalu di pandang dengan standardisasi
manusia yang tak akan pernah bisa memenuhi kepuasaan batiniah. Orang-orang yang
selalu mengejar sesuatu karena hanya sekedar untuk memenuhi standar-standar
tersebut hanya akan selalu merasa haus dan semakin haus sehingga ketamakan dan
kerakusan pun mudah merasuk sampai ke sumsum tulang mereka. Kepuasaan batiniah
seharusnya dicari dengan cara batiniah, bukan didasarkan atas standardisasi
duniawi. Ibaratnya jika kita menanam padi, maka rerumputan pun akan ikut tumbuh
di sekitarnya, namun jika kita menanam rerumputan, padi tidak akan ikut tumbuh.
Begitu juga dengan dunia akhirat, jika kita mengejar akhirat maka dunia pun
akan mengikuti. (Quote from my friend)
No comments:
Post a Comment