Pages - Menu

Monday, October 13, 2014

Sebilah Kisah dari Perantauan ~Part 1~


Hidup itu terkadang tidak berjalan sesuai dengan yang manusia inginkan. Setiap kali hal itu terjadi, kerap manusia bertanya-tanya dengan berbagai keluh kesahnya. Terkadang sampai menyalahkan berbagai pihak dan mengada-adakan faktor-faktor yang sangat kecil pengaruhnya. Manusia dewasa ini seolah melupakan sejenak kondisi batiniahnya demi mengejar segala hal yang ada di dunia, walaupun itu hanya sekedar untuk mendapat kepuasaan yang didasarkan atas standar-standar buatan manusia. Kondisi rohani yang selalu dinomorduakan, bahkan mungkin nomor dua dari belakang, bisa dibilang sebagai faktor yang melahirkan sistem kompetisi di dunia. Ya, ibaratnya jika kau tidak menjadi nomor satu, maka kau tak akan pernah menjadi jagoan, menjadi pemenang, tentunya di mata manusia.
Manusia seolah lupa, bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian. Keharusan menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat sudah tak pernah lagi masuk dalam prioritas kehidupan manusia modern ini. Mereka selalu mengutamakan apa yang bisa mereka lihat dengan mata, yaitu dunia. Tak pernah sekali pun berusaha untuk melihat dengan mata hati apa yang selama ini tak terlihat oleh mata fisik, yaitu akhirat. Tidak berlebihan dalam melakukan segala hal adalah salah satu ajaran inti dalam Islam, seperti firman Allah dalam Al Qasas ayat 77 sebagai berikut:
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Keharusan untuk menjalani kehidupan sesuai ajaran ini memang tidaklah mudah, tapi bagaimana pun juga segala yang di tengah-tengah (seimbang, tidak berlebihan) itu lebih baik. Sejenak aku teringat beberapa waktu lalu, ada seorang sahabat di perantauan yang tiba-tiba bertanya dan sedikit bercerita padaku melalui media chat di hp.
“Lin, kamu setuju nggak orang yang nggak tahan tekanan nggak bakal bisa sukses?”
“Nggak, tapi itu memang tantangan yang harus dilalui. Tantangan nggak sama dengan tekanan. Kalau bisa menikmati tantangan maka nggak akan jadi tekanan. Simpel kan? Parameter sukses tiap orang kan juga beda, nggak bisa disamakan,” balasku kemudian.
Sedikit lama ia menjawab, “Gitu ya? Gimana kalau ada orang yang tetap rela ditekan setiap hari, meskipun hal tersebut mengubah perangainya jadi buruk? Dia rela digituin demi masa depan yang baik.”
Aku pun terus membalas sambil berpikir agar apa yang ingin kusampaikan bisa dicernanya dengan baik, lalu kubalas panjang lebar, “Kalau demi masa depan yang baik, harus jadi pribadi yang baik, mengusahakan yang baik, dengan itu Allah yang menjamin kalau bakal punya masa depan yang lebih baik.” Aku pun berhenti sejenak, merangkai kata-kata di dalam benak, “Nggak ada yang namanya demi masa depan lebih baik tapi sampai rela berubah menjadi buruk. Siapa yang bisa menjamin masa depan manusia?” tanyaku balik, dan ia pun masih dengan sabar menunggu sampai ceramahku yang biasanya selesai. “Cuma Allah dan apa yang sedang diupayakan sekarang, tentunya dengan cara yang baik. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak mau berusaha. Berusaha di sini juga tentu dalam kategori yang baik. Sekarang tinggal pilih, kamu lebih suka dipandang dan dianggap oleh Allah atau hanya segelintir manusia? Insya Allah aku tahu kalau kamu lebih milih yang pertama, kamu dapat suskes dunia akhirat.”
Actually, belakangan ini entah kenapa susah menata pikiran. Somehow kerjaan jadi overload,” jawabnya singkat dan mulai mengerti apa yang kumaksud. “Hmm, hidup seimbang susah juga ya. Benar-benar berjuang keras buat dunia dan akhirat,” lanjutnya beberapa saat kemudian. Sahabatku yang satu ini sedang berjuang menghadapi hiruk pikuk pergaulan di Kota Metropolitan nomor satu di Indonesia, Jakarta, bahkan ia menyebutnya sebagai Kota Cyberpunk yang sama sekali aku masih belum paham makna seutuhnya.



Ia bahkan kerap bercerita padaku tentang lingkungan kerjanya yang sangat kondusif untuk mengubah perangainya menjadi lebih buruk. Hedonisme merongrong kuat dalam atmosfernya bahkan segala sesuatu selalu di pandang dengan standardisasi manusia yang tak akan pernah bisa memenuhi kepuasaan batiniah. Orang-orang yang selalu mengejar sesuatu karena hanya sekedar untuk memenuhi standar-standar tersebut hanya akan selalu merasa haus dan semakin haus sehingga ketamakan dan kerakusan pun mudah merasuk sampai ke sumsum tulang mereka. Kepuasaan batiniah seharusnya dicari dengan cara batiniah, bukan didasarkan atas standardisasi duniawi. Ibaratnya jika kita menanam padi, maka rerumputan pun akan ikut tumbuh di sekitarnya, namun jika kita menanam rerumputan, padi tidak akan ikut tumbuh. Begitu juga dengan dunia akhirat, jika kita mengejar akhirat maka dunia pun akan mengikuti. (Quote from my friend)

No comments:

Post a Comment